Senin, 26 Oktober 2020 22:05

Sinergi perdagangan pangan terbuka dan peran startup lokal jadi aspek penting capai ketahanan pangan

Ekonomi

JAKARTA, 26 Oktober 2020 - Kebutuhan pangan masyarakat tidak pernah bisa dilepaskan dari pentingnya memastikan harga pangan yang terjangkau. Idekonomi telah merilis episode podcast terkini yang membahas kebijakan perdagangan pangan dan peran penting para petani di lapangan. Episode ini juga akan membahas kontribusi pihak swasta dalam sektor pangan di Indonesia. Di episode ke-22 ini, Idekonomi berkolaborasi dengan Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) dan Friedrich Naumann Foundation Indonesia (FNF) dengan menghadirkan Felippa Amanta, Kepala Departemen Penelitian CIPS, dan Pamitra Wineka (Eka), President dan Co-Founder Tanihub.

Pemerintah Indonesia kerap bergantung pada impor pangan untuk menjaga ketersediaan pangan serta stabilitas harganya. Studi CIPS pada 2018 menunjukkan bahwa 95% bawang putih, 24% daging sapi, dan 55% gula didatangkan dari luar negeri. Hal ini tidak selalu disambut baik oleh sebagian kalangan masyarakat karena beberapa hal. Felippa menyatakan bahwa sentimen negatif tentang impor muncul karena masyarakat Indonesia masih menganggap bahwa Indonesia adalah negara agraris yang dapat memenuhi kebutuhan pangannya sendiri. Selain itu, faktor nasionalisme yang muncul pasca kolonialisme juga mendorong tumbuhnya sentimen tersebut dan bertahan turun temurun.

“Padahal, sebenarnya impor pangan tidak otomatis menjadi hal yang buruk. Kadang-kadang kita perlu impor untuk memenuhi kebutuhan pangan kita,” tukas Felippa.

Ia pun mengatakan, ketahanan pangan tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh kemampuan produksi dalam negeri. Jika melihat definisi ketahanan pangan dari Food and Agriculture Organization (FAO), terdapat empat pilar ketahanan pangan, yaitu ketersediaan, keterjangkauan, utilisasi dan stabilitas.

“Singapura adalah negara dengan ketahanan pangan terbaik dan mampu memenuhi empat pilar ketahanan pangan berdasarkan definisi FAO tadi. Padahal mereka nyaris tidak memiliki lahan. Mereka terbuka dengan pasar global dan melakukan diversifikasi kebutuhan pangannya dari banyak negara. Negara-negara dengan kebijakan pangan terbuka cenderung lebih memiliki ketahanan pangan yang lebih baik,” ujar Felippa.

Biasanya saat orang berbicara tentang swasembada, lanjutnya, mereka hanya menghitung jumlah produksi dan membandingkannya dengan jumlah konsumsi tanpa memperhatikan jenis makanan apa yang mau dikonsumsi. Padahal beras saja ada beberapa jenis, misalnya. Padahal, dalam mencapai ketahanan pangan, ketersediaan pangan hanya satu aspek dari mencapai ketahanan pangan. Untuk itu, Felippa berpendapat bahwa penting untuk senantiasa meningkatkan ekspor tapi tidak melarang impor dalam rangka mencapai ketahanan pangan.

Selain itu, kemampuan para petani lokal untuk mampu menyediakan komoditasnya di seluruh pasar di Indonesia juga menjadi aspek penting mencapai ketahanan pangan. Di masa pandemi, rantai pasok pangan jadi terganggu, sehingga Indonesia sangat rapuh untuk bisa mengalami kenaikan harga pangan. Eka menyampaikan bahwa kondisi pandemi telah memengaruhi bagaimana petani melakukan pengelolaan komoditas pangannya di Indonesia dan juga di seluruh dunia. Selain itu, di luar pandemi, Eka juga menambahkan bahwa anomali cuaca juga menyulitkan petani untuk melakukan produksi.

Menanggapi berbagai ketidakpastian yang dihadapi, Felippa berpendapat bahwa perlu adanya fleksibilitas pada kebijakan impor. Importir pangan kerap dihadapkan pada proses birokrasi yang berkepanjangan sehingga mereka sulit untuk bisa cepat beradaptasi dengan tingginya harga pangan.

Dengan kemudahan melakukan impor untuk mengendalikan harga yang lebih terjangkau, ada kekhawatiran bahwa petani di Indonesia dirugikan. Dalam menanggapi kekhawatiran tersebut, Eka berpendapat bahwa para petani juga akan terdampak dengan harga pangan yang tidak terkendali apabila tidak dilakukan kebijakan pengendalian harga, termasuk lewat impor.

“Ketidakstabilan harga pangan, seperti beras, tentunya dapat berpotensi menimbulkan gejolak ekonomi dan sosial di Indonesia. Untuk itu, penting untuk menghindari kemungkinan tersebut, termasuk dengan melakukan impor. Namun, menurut saya impor yang baik adalah impor yang berdasarkan waktu. Pada saat petani panen, ya jangan impor, tapi saat petani mau menanam, ya tentunya impor perlu terlebih untuk memenuhi stok.” ujar Eka.

Eka menambahkan bahwa ketersediaan data produksi pangan yang akurat menjadi penting dalam melakukan keputusan untuk melakukan impor. Ketersediaan data yang akurat dengan frekuensi rutin tentunya akan memudahkan pemerintah untuk melakukan distribusi pangan yang baik agar harga terkendali.

Selain ketersediaan data yang akurat, tentunya ada masalah-masalah lain yang dihadapi petani. Misalnya saja pada proses distribusi seperti rantai pasok yang panjang, ongkos produksi yang panjang serta produktivitas petani yang rendah. Untuk mengatasi masalah-masalah ini, Eka menyatakan teknologi berperan penting untuk menjembatani masalah ini terhadap sebuah solusi.

“Beberapa startup di bidang teknologi seperti Tanihub ingin membangun platform yang menghubungkan petani dan pembeli sehingga petani yang dulunya hanya mengandalkan tengkulak menjadi lebih banyak pilihan, dan pada akhirnya distribusi pangan jadi lebih sedikit rantainya.” ujarnya.

Terkait ongkos produksi yang tinggi, temuan di lapangan yang diamati Tanihub juga menyatakan bahwa para petani masih kesulitan untuk mencari bibit dan pupuk sehingga terpaksa beli lebih mahal di toko retail atau tengkulak ketimbang distributor. Selain itu, produktivitas lahan di Indonesia masih rendah. Untuk melakukan peningkatan produktivitas lahan, para petani perlu diberikan wawasan dan akses kepada modal yang cukup. Di sini peran startup penting untuk menjembatani kebutuhan-kebutuhan ini.

Keberlangsungan startup tidak lepas dari pentingnya inovasi. Pemerintah dianggap memegang kunci utama dalam melakukan reformasi kebijakan pangan yang juga mendorong inovasi masyarakat. Felippa menambahkan, banyak yang bisa dilakukan pemerintah terkait inovasi pada sektor pertanian seperti penyuluhan, infrastruktur dan lainnya. Namun, ia merasa hal yang perlu diutamakan dalam reformasi kebijakan adalah good governance untuk pemenuhan hak atas pangan. Dalam mencapai hal ini, kolaborasi antar pemerintah dengan berbagai institusi dan lapisan masyarakat menjadi hal yang harus diutamakan.

“Selain itu, pemerintah perlu terbuka terhadap investasi, baik domestik maupun asing. Investasi tersebut perlu mementingkan efisiensi biaya. Selama ini investasi di pertanian cenderung rendah, terlebih investasi di bidang research dan development. Aspek lain yang perlu menjadi perhatian adalah adanya kebijakan mitigasi dalam menghadapi krisis iklim. Pemerintah bisa mendorong pengembangan teknologi yang memudahkan praktik-praktik pertanian yang ramah lingkungan.” menurut Felippa.

Felippa menyatakan bahwa investasi tersebut perlu fokus tidak hanya di hulu, namun juga di hilir. Hal ini mengindikasikan investasi juga perlu fokus pada aspek-aspek pendukung sektor pertanian, seperti infrastruktur. Senada dengan Felippa, Eka mencontohkan bahwa Indonesia dapat mencontoh Thailand yang telah melakukan banyak investasi pada infrastruktur dan sistem postharvest yang baik di sisi petani agar produk tetap berkualitas sampai di pasar dalam kondisi baik.


----
Idekonomi merupakan media yang bertekad untuk membumikan pemahaman mengenai isu ekonomi agar mudah dipahami melalui wawancara interaktif bersama ahli dan dikemas dalam bentuk siniar (podcast) serta wadah lainnya. Dengarkan secara lengkap pembahasan mengenai isu tersebut di Spotify, Apple Podcast, dan platform sejenis lainnya. Sampaikan ide untuk pembahasan di episode berikutnya serta saran, masukan dan ajakan kolaborasi atau kerjasama melalui kotak surel kami di contact.idekonomi@gmail.com (Ilman)

favorite 2 likes

question_answer 0 Updates

visibility 1011 Views

Update
No Update Available
Related News
Petani kopi Indonesia belajar pengolahan biji kopi di Tiongkok
Serangkaian angka ini buktikan optimisme dunia terhadap ekonomi Tiongkok
Xi Jinping tegaskan untuk dorong pembangunan Tiongkok bagian tengah
×