Selasa, 15 Desember 2020 21:23

Perempuan Indonesia sulit bersaing dalam kontestasi politik

Pilkada

Partisipasi perempuan dalam politik, baik dalam mengisi kursi parlemen maupun pemilihan kepala daerah di Indonesia masih sangat rendah. Padahal, jika dilihat dari rasio penduduk berdasarkan jenis kelamin, proporsi jumlah perempuan dan laki-laki hampir seimbang. Idekonomi membahas isu ini dalam episode podcast yang baru saja dirilis yang membahas realita dan tantangan bagi perempuan dalam berpolitik. Episode kali ini dikemas dalam segmen CeritaPuan, yang merupakan rubrik Idekonomi yang fokus membahas isu-isu gender dan demografi dalam perspektif Ilmu Ekonomi. Pada CeritaPuan Episode ke-7 ini, Idekonomi menghadirkan Ruth Nikijuluw, akademisi dan kandidat doktoral di The Australian National University dengan pengalaman riset di bidang ekonomi keuangan publik lokal, gender, ekonomi politik dan pengelolaan sumber daya alam. Idekonomi dan Ruth membahas beberapa topik mencakup perbedaan preferensi kebijakan yang diambil oleh perempuan dan laki-laki, hambatan yang dirasakan oleh perempuan dalam berpartisipasi di dunia politik, dan bagaimana mendorong partisipasi perempuan dalam kontestasi politik dan pengambil kebijakan.


Partisipasi Perempuan dalam Politik Masih Rendah


Saat ini, angka partisipasi perempuan dalam kontestasi politik masih sangat rendah di Indonesia. Dari 575 anggota DPR RI 2019 - 2024, anggota parlemen perempuan hanya 20,7% atau 119 anggota. Selain DPR, proporsi perempuan yang berpartisipasi dalam Pilkada 2020 hanya 10,6%. Walaupun meningkat dari tahun sebelumnya, statistik ini masih menunjukkan partisipasi perempuan yang masih belum meningkat secara signifikan, bahkan peningkatannya tidak mencapai 2%. Fakta bahwa gender ratio perempuan dan laki-laki di Indonesia yang hampir seimbang juga menandakan bahwa persentase perempuan dalam politik masih jauh dari ideal dalam merepresentasikan seluruh kelompok masyarakat.

“Kalau tidak ada perempuan atau minim perempuan, tentunya menciptakan tantangan tersendiri, seperti bagaimana aspirasi, kepentingan, atau preferensi perempuan bisa di-accommodate dalam pengambilan kebijakan itu. Masalahnya bukan di angka 50:50, bisa di 40:60 atau 60:40 tapi yang paling penting semangatnya adalah posisi perempuan sebagai pemimpin itu bukan pengecualian. Jadi, perempuan bisa dan punya aspirasi untuk jadi pemimpin. Lebih ke arah persamaan, dan itu adalah pondasi dari negara yang demokratis”, ujar Ruth.


Preferensi Kebijakan yang Diambil oleh Perempuan


Dalam pengambilan kebijakan, perempuan cenderung memiliki perhatian terhadap isu yang terkait dengan kesehatan dan pendidikan. Hal ini didukung oleh sebuah artikel World Economic Forum yang menyatakan bahwa “The more women in government, the healthier the population”. Selain itu, terdapat teori preferensi yang menjelaskan bahwa manusia memiliki preferensi masing-masing dan jenis kelamin merupakan salah satu hal yang membawa perbedaan dalam preferensi tersebut. Namun, perbedaan ini juga bergantung pada kondisi di masing-masing negara.

“Untuk Indonesia, kebetulan memang banyak capaian-capain yang lebih menyentuh perempuan, seperti misalnya kesehatan maternal atau air bersih. Itu adalah capaian-capaian yang masih bisa kita tingkatkan lagi, masih kurang jika dibandingkan dengan negara tetangga. Sehingga di sektor-sektor tersebut terlihat dampak dari adanya pemimpin perempuan. Seperti misalnya, dalam studi yang aku lakukan, daerah dengan pemimpin perempuan lebih mendapat peningkatan capaian di akses persalinan yang dibantu oleh tenaga kesehatan dan juga akses air bersih”, menurut Ruth.

Partisipasi perempuan dalam kontestasi politik atau pengambil kebijakan sangat diperlukan. Perempuan yang ada di sisi pengambilan kebijakan akan dapat mempengaruhi isu yang didiskusikan dan akhirnya kebijakan terkait isu yang menjadi concern tersebut akan lebih mungkin untuk dibentuk atau diformulasikan.

“Yang menarik adalah kebanyakan studi yang mengambil contoh negara berkembang biasanya malah bisa menunjukkan adanya pengaruh dari pemimpin perempuan ini. Salah satu alasannya adalah mungkin memang pencapaian itulah yang masih kurang sehingga ketika ada pemimpin perempuan di situ akhirnya bisa menunjukkan perubahan yang terlihat jelas hasilnya. Mungkin juga perempuan semakin terasosiasi dengan preferensinya karena melihat bagaimana capaian-capaian itu yang masih kurang di sekitarnya”, ujar Ruth.

Hambatan Perempuan untuk Terlibat Aktif dalam Kontestasi Politik

Secara garis besar, terdapat dua hambatan yang dirasakan oleh perempuan dalam berpolitik, yaitu dari sisi sistem politik dan proporsi partai. Di Indonesia, sistem politik yang ada masih cenderung dikuasai oligarki. Dengan kata lain masih terdapat elit politik dalam partai besar, hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi perempuan untuk masuk ke dalam ranah politik. Umumnya partai yang memiliki proporsi kandidat perempuan paling banyak adalah partai-partai kecil yang tidak bisa memenuhi 4% legislative threshold sehingga sulit untuk masuk ke dalam tingkat parlemen.

Selain itu, dari segi sosial, World Values Survey (WVS) tahun 2018 yang diadakan di seluruh dunia, salah satunya di Indonesia menyatakan 72% orang Indonesia setuju atau sangat setuju bahwa laki-laki adalah pemimpin politik yang lebih baik daripada perempuan. Persentase ini sangat tinggi jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia. Menariknya, angka ini jauh lebih tinggi dari survei sebelumnya pada tahun 2006, yaitu 59%

“Tidak disangka kita semua mengira isu gender sering dibicarakan. Namun, ternyata makin banyak yang akhirnya setuju dengan pertanyaan itu. Hal ini menunjukkan bagaimana sebenarnya ada norma sosial atau nilai sosial yang masih sticky, yang masih kaku di masyarakat kita dan memang ada persepsi bahwa laki-laki lebih baik sebagai pemimpin politik”, menurut Ruth.

Lebih lanjut, sudah banyak upaya yang dilakukan untuk memberdayakan perempuan di Indonesia. Namun, belum tentu perempuan yang berdaya mau masuk ke dalam dunia politik atas kemauannya. Hal ini terjadi karena adanya hambatan yang bersifat struktural seperti pandangan mengenai bagaimana perempuan tersebut dibesarkan, dan norma sosial yang berlaku di masyarakat.

“Sehingga membuat kita secara tidak sadar ‘oh aku gak mau deh (masuk) ke (dunia) politik karena it’s just too futile to run in the politics’, costs nya terlalu besar”, ujar Ruth.

Mendorong Partisipasi Perempuan dalam Politik

Saat ini, masyarakat sudah lebih terbuka dalam membahas isu berkaitan dengan gender. Namun, dari sisi partisipasi, peningkatan harus terus didorong karena selama ini peningkatan yang terjadi masih tidak signifikan. Hal ini berdampak pada pengaruh yang ingin dicapai agar mencerminkan representasi masyarakat sebenarnya. Pemerintah dan masyarakat perlu bekerja sama dalam mendorong peningkatan partisipasi ini. Pemerintah perlu mengeliminasi dan memastikan tidak adanya diskriminasi atau bias secara struktural. Dari sisi masyarakat upaya bisa dimulai dari diri sendiri dengan mendorong atau mendukung perempuan yang ingin terjun ke dunia politik.

“Di Indonesia sendiri, studi menemukan bahwa pemilihan kepala daerah langsung atau pemilukada yang dimulai sejak tahun 2005 secara bertahap adalah salah satu force yang membuat semakin banyaknya perempuan di posisi kepala daerah atau wakil kepala daerah. Hal ini karena akhirnya di pemilihan langsung inilah yang bisa membuat leader perempuan bisa berinteraksi langsung dengan konstituennya dan akhirnya konstituennya bisa memilih perempuan ini”, menurut Ruth.

Sebelumnya, pemilihan kepala daerah dilakukan secara tidak langsung, artinya kepala daerah dipilih oleh anggota DPRD/DPR. Ketika demokrasi berjalan dengan baik, dan menuju ke arah demokrasi yang lebih baik, hal ini mendorong peningkatan partisipasi perempuan dalam politik dan pembuat kebijakan. Dalam hal ini perempuan yang memiliki hak suara dapat memilih kandidat yang memiliki perhatian terhadap isu-isu yang mereka pedulikan.

favorite 3 likes

question_answer 0 Updates

visibility 1276 Views

Update
No Update Available
Related News
7 Kepala Daerah Kabupaten/Kota Provinsi Lampung dilantik
Perempuan Indonesia sulit bersaing dalam kontestasi politik
Fadli Noor : Perda Makassar Masih Banyak yang Timpang
×