Jumat, 01 Juli 2022 13:33

Masa depan Hong Kong di bawah dukungan penuh pemerintah Beijing

Luar Negeri

Sukron Makmun
(Intelektual muda NU, Wakil Sekjen Perhimpunan Alumni Tiongkok di Indonesia (PERHATI),
dan Pengamat Geo-Politik Luar Negeri)


Ketika saya berkunjung ke Hong Kong (HK) pada tahun 2019, ada kesan mendalam di benak saya tentang kota metro politan ini; indah, banyak gedung pencakar langit, dan maju. Kehidupannya sangat dinamis dan damai. Meskipun sangat padat, kota beton ini termasuk kota paling aman di dunia.

Pasca demo anti pemerintah yang melibatkan sekitar I juta demonstran dengan panjang barisan 1,6 kilo meter menolak RUU Ekstradisi (2019), persepsi masyarakat internasional tentang HK sedikit berubah. Itu karena banyaknya fasilitas umum, pusat-pusat bisnis dan infrastruktur lain yang rusak akibat tindakan anarkis para perusuh.

Yang ditakutkan oleh masyarakat HK terkait isu Ekstradisi adalah, mereka akan dikirim ke pedalaman Tiongkok karena dua hal: pertama, kejahatan penggelapan pajak, yang mana sudah rahasia umum bahwa sebagian besar lembaga keuangan di HK hidup nyaman dari limpahan penggelapan pajak dan cuci uang warga Tiongkok. Kedua, kejahatan politik dan agama. Ini sangat menakutkan (di HK hukuman jauh lebih ringan, karena menerapkan hukum Inggris). Padahal kekhawatiran itu berlebihan, sebab RUU Ekstradisi tidak mencakup kedua hal itu. Keputusan ekstradisi bagi warga HK juga tetap berdasar pada keputusan pengadilan HK.

Mengapa Tiongkok terkesan lemah terhadap para perusuh. Padahal tuntutannya sudah mengarah pada disintegrasi; memisahkan dari Tiongkok (mainland China). Seolah aksi protes dibiarkan meluas, sampai parlemen HK menunda pengesahan RUU tersebut. Apakah Tiongkok tidak paham terhadap perkembangan situasi politik saat itu? Justru, Tiongkok sangat paham bahwa yang dihadapi sesungguhnya bukanlah rakyat HK, melainkan pihak asing yang memanfaatkan kepolosan rakyatnya untuk melakukan provokasi. Dari situ, diharapkan supaya pemerintah terpancing dan salah menyikapi gerakan anti pemerintah tersebut, sehingga asing (via PBB) memiliki alasan kuat untuk intervensi lewat jalur HAM internasional. Tiongkok sudah punya hitungan taktis bahwa perang asimetris akan selalu dimenangkan pihak penguasa selama ekonomi kuat dan stabil. Beijing sudah mengukur kekuatan dan daya tempurnya untuk melawan perang asimetris modern ini.

Dalam kasus ini, Tiongkok mampu mengkapitalisasi kerusuhan yang diakibatkan tangan hitam asing. Beijing dapat menyelesaikan masalah justru karena ada masalah yang timbul. Dengan anarkisme yang terjadi di HK, Beijing punya alasan kuat untuk memukul campur tangan asing lewat UU dan hukum.

Kebebasan yang kebablasan dengan dalih HAM dan demokrasi terus dibakar oleh musuh Tiongkok, dan pada akhirnya masyarakat HK secara tidak sadar ternyata membakar “kebebasan” itu sendiri. Ini menguntungkan Tiongkok, sehingga ia punya dalih kuat di hadapan masyarakat internasional untuk mengambil alih agar situasi dan keadaan di HK kembali seperti sedia kala. Itu sebenarnya yang Tiongkok inginkan, dan sekarang terbukti, HK sudah sepenuhnya di bawah kendali Beijing.

Dugaan Keterlibatan AS

Apakah protes anti pemerintah di HK murni demi memperjuangkan HAM dan Kebebasan? Belum tentu. Pernyataan “kami bersama rakyat Hong Kong” yang digembar-gemborkan politisi Amerika Serikat (AS) adalah isapan jempol belaka. Sekadar retorika untuk membuai dunia.

Faktanya, ketika ada kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh para perusuh terhadap masyarakat sipil, mereka diam saja. AS tidak peduli atas kehancuran yang dialami masyarakat HK akibat kerusuhan. Ketika krisis tidak dapat diatasi, di depan pers internasional presiden AS (saat itu Trump) dengan mudah lempar batu sembunyi tangan. Ia menyebut separatis HK sebagai perusuh dan itu urusan internal Tiongkok.

Ketua Dewan Perwakilan AS Nancy Patricia D’Alesandro Pelosi pernah mengatakan bahwa demonstrasi massal di HK (Juni 2019) adalah pemandangan yang indah untuk dilihat (a beautiful sight to behold). Sementara ia tidak mengatakan hal yang sama terkait kerusuhan yang terjadi di gedung konggres Capitol Hill, Washington (6/1/2020), meski sedikitnya 4 orang tewas akibat bentrokan antara aparat dan demonstran. Bentuk standar ganda AS yang sesungguhnya.

Diduga, AS melalui CIA dan NED telah menyusun taktik, mengorganisir dan memberi komando dari balik layar atas kekacauan di HK. Tujuan jangka panjangnya: supaya terjadi ‘Colour Revolution’ di Tiongkok. Adapun tujuan jangka pendeknya adalah, mendapatkan lebih banyak bidak catur untuk kepentingan perang dagang, dan berharap kerusuhan demi kerusuhan dapat menimbulkan kesulitan-kesulitan baru bagi Tiongkok.

Sialnya, kekacauan yang diduga buatan AS tadi, akhirnya tidak terkendali bahkan semakin liar. Sehingga agen rahasianya terpaksa menampakkan batang hidungnya. Banyak identitas yang terekspose, termasuk penanggungjawab CIA untuk HK. Ini sekandal dan kegagalan operasi yang sangat memalukan. Sebab itu, presiden AS sangat kecewa dengan operasi CIA.

Situasi sudah jauh dari skenario awal. Insiden berdarah justru menimpa rakyat sipil; turis asing dan jurnalis. Padahal, CIA menginginkan, yang jadi korban kebrutalan harusnya demonstran, dan pelakunya adalah aparat keamanan, sehingga AS dapat mengerahkan mesin propagandanya, menggiring opini global untuk mencoreng, menekan pemerintah kemudian menjatuhkan sanksi kepada pemerintah Tiongkok. Dengan begitu tujuan jangka pendek (memenangkan perang dagang) dan jangka panjang (colour revolution) dapat tercapai dengan mulus.

Setelah insiden tersebut, AS tetap melakukan propaganda secara intensif melalui internet. AS tidak segan memutar balikkan fakta; hitam menjadi putih dan sebaliknya. Hal ini yang kemudian menyulut kemarahan netizen Tiongkok (mainland). Pemuda dan anak belasan tahun, dengan semangat patriotisme terpanggil untuk melawan kesewenang-wenangan AS dan sekutunya.

Lahirlah gerakan yang menamakan dirinya “Ring Rice Girl 814”, “Ekspedisi Diba 817”, dan “Overseas Student Mengurung Perusuh HK pro kemerdekaan” dst. Mereka secara sepontan terpanggil untuk melawan opini asing yang menyesatkan. Sebagai gantinya, mereka membangun opini publik yang bisa diakses langsung oleh dunia internasional.

Mereka terpanggil untuk menyuarakan aspirasi mayoritas rakyat Tiongkok. Mereka ikut berjuang membela negaranya melalui media sosial. Opini kontra Tiongkok dengan sendirinya redup, terbungkam oleh opini mereka. Bahkan, mereka mampu menyingkap konspirasi di balik kerusuhan yang terjadi di HK.

Kelompok separatis dan para perusuh dibuat kehilangan muka. Dengan sendirinya pekerjaan pemerintah untuk melawan balik opini negatif yang diciptakan AS dan sekutunya, sebagian besar telah beres oleh netizen Tiongkok. AS pun dibuat tak berdaya. Betul-betul di luar dugaan. Kerusuhan yang mereka ciptakan justru menjadi senjata makan tuan dan secara tidak sengaja telah menumbuhkan patriotisme, persatuan dan nasionalisme para pemuda di HK dan pedalaman Tiongkok.

Masa depan Hongkong

Selama tetap mengikuti keinginan, dan menjadi bagian tak terpisahkan dari Beijing (sejak 1 Juli 1997 silam), masyarakat HK punya harapan besar. Pemerintah Tiongkok sangat unggul dan mapan dalam berbagai bidang. Di bawah pemerintah pusat Tiongkok, national dan social scurity masyarakat HK akan terjamin. Tanpa itu, tidak ada lagi alasan bagi masyarakat untuk terus hidup di HK.

UU keamanan nasional adalah instrumen penting untuk menjaga dan melindungi masyarakat HK yang notabene-nya hidup di wilayah administratif khusus. Dengan semangat nasionalisme dan keingingan kolektif yang kuat, masyarakat HK bisa bangun dari keterpurukan akibat krisis politik dan pandemi covid 19. Para elit dan masyarakat harus sadar bahwa kekerasan tidak akan menguntungkan bagi siapa saja dan untuk agenda politik manapun. Kekerasan bukanlah solusi yang baik.

Beijing tentu punya agenda untuk masa depan HK, yaitu menghapus hak istimewa HK dalam konvensi pemisahan HK dari Britania Raya ─yang itu diakui oleh PBB. Perlu diketahui bahwa Satu Negara Dua Sistem adalah fundamental hukum HK, dan akan tetap dipertahankan sampai habis masa berlakunya, yaitu selama 50 tahun sejak penyerahan kedaulatan HK oleh Inggris kepada Tiongkok (1997). Sedangkan sampai saat ini, durasinya baru berjalan 25 tahun.

1 Juli nanti, masyarakat HK akan merayakan ultahnya. Perayaan atas kembalinya kedaulatan HK dari Britania Raya (Inggris) ke pangkuan ibu pertiwinya, Tiongkok. Happy Anniversary yang ke-25! Semoga impian tentang kesejahteraan, kemajuan, dan kehidupan yang lebih baik dapat terwujud.

favorite 0 likes

question_answer 0 Updates

visibility 132 Views

Update
No Update Available
Related News
Buka situasi baru kerja sama dan menang bersama
Majalah Qiushi rilis artikel Xi Jinping
Leaders Talk: Wawancara khusus dengan Presiden Kongo (Brazzaville)
×