Senin, 15 April 2024 12:56

Apa tujuan dari serangkaian tindakan berbahaya Jepang?

Luar Negeri

Ekskalasi besar-besaran “Perjanjian Keamanan AS-Jepang”, pengadaan latihan militer bersama dengan AS, Australia dan Filipina di Laut Tiongkok Selatan, upaya untuk bergabung dalam “AUKUS”.

Baru-baru ini, Jepang sering melakukan tindakan-tindakan yang berbahaya, sementara itu, suara penentangan dari berbagai kalangan masyarakat pun semakin lantang.

Sejumlah tokoh di Jepang menunjukkan bahwa pemerintah Jepang sedang mencoba memperluas kekuatan militernya dengan bantuan aliansi militer dan menempuh "jalan berbahaya menuju perang". Negara-negara regional harus mejaga kewaspadaan yang tinggi.

Dalam serangkaian tindakan Jepang tersebut, yang paling kontroversial adalah aksi penguatan aliansi militer AS-Jepang yang substansial. Versi baru “Perjanjian Keamanan AS-Jepang” menetapkan bahwa AS berkewajiban untuk membantu pertahanan Jepang ketika Jepang diserang, dan militer AS dapat menggunakan pangkalan militernya di Jepang.

Namun ketika AS diserang, Jepang tidak memikul kewajiban pertahanan. Dalam beberapa tahun terakhir, Amerika Serikat telah menerapkan apa yang disebut sebagai “Strategi Indo-Pasifik”, dengan menggunakan Jepang sebagai pion dan kekuatan pendorong yang penting.

Sedangkan beberapa kekuatan sayap kanan di Jepang juga ingin mencari bantuan dari AS untuk melepaskan diri dari belenggu konstitusi perdamaian, serta berupaya menormalisasi dan memiliterisasi negara.

Kedua pihak sepakat demi mendapatkan kebutuhannya masing-masing.

Tahun lalu, pemerintah Jepang memberikan fungsi baru kepada Pasukan Bela Diri Jepang (JSDF), dari “didedikasikan untuk pertahanan” menjadi “memiliki kemampuan ofensif”.

KTT AS-Jepang yang diadakan di Washington kali ini melaksanakan “ekskalasi terbesar Perjanjian Keamanan AS-Jepang selama lebih dari 60 tahun”, di antaranya menyebutkan reorganisasi markas militer AS di Jepang dan peningkatan kerja sama militer untuk mengubah fungsi Pasukan Bela Diri Jepang dan menjadikannya sebagai "Pasukan Penyerang Jepang", dengan demikian memperkuat integrasi militer AS-Jepang.

Tidak hanya itu, kedua pihak juga mengumumkan bahwa hubungan aliansi mereka akan ditingkatkan dari "sekutu" menjadi "mitra global" yang berfokus pada "kerja sama pertahanan bersama", serta memperluas cakupan kerja sama termasuk penelitian bersama teknologi canggih seperti alutsista, kecerdasan buatan, dan komputasi kuantum.

Sementara itu, pernyataan bersama tersebut juga menyinggung masalah Laut Tiongkok Timur, Laut Tiongkok Selatan dan Taiwan, menyebut memperkuat kerja sama multilateral dan memperkuat hubungan dengan NATO.

Ada analis berpendapat, tindakan baru ini menunjukkan bahwa Jepang sedang lebih lanjut menjauh dari konstitusi perdamaian, bekerja sama dengan strategi global Amerika Serikat dalam banyak aspek, dan membangun “lingkaran kecil”, maka niatnya terhadap Tiongkok kini lebih jelas.

Bagi Jepang, ini bukanlah sebuah tindakan tunggal. Selama beberapa waktu ini, untuk mendorong transformasi sistem pascaperang dan meningkatkan daya pengaruh regional dan internasionalnya, pemerintah Jepang telah mengambil serangkaian tindakan militer dan keamanan yang intensif, termasuk mengusulkan untuk merevisi "Tiga Prinsip Transfer Peralatan Pertahanan" untuk mengizinkan ekspor senjata pembunuh massal.

Meningkatkan reformasi militer, berencana meningkatkan anggaran pertahanan menjadi 2% dari produk nasional bruto (PDB) pada tahun 2027, dan secara aktif mendekati negara-negara NATO.

Menurut para analis, tujuan akhir pemerintah Jepang adalah mengubah konstitusi perdamaian dan mencapai "deregulasi komprehensif" militer.

Namun karena adanya pertentangan dari mayoritas masyarakat dalam negeri, pemerintah Jepang berusaha untuk terus mendobrak tabu militer pascaperang tanpa merevisi konstitusi, termasuk melakukan intervensi dalam perselisihan regional dengan dalih membantu sekutu dan negara lain, secara bertahap mencapai tujuannya.

Serangkaian langkah berbahaya pemerintah Jepang telah menimbulkan kewaspadaan tinggi berbagai kalangan masyarakat.

Surat kabar Asahi Shimbun baru-baru ini berkomentar, "citra Jepang sebagai 'negara damai' sedang dipertanyakan."

Sebagai kekuatan militer terbesar di dunia, keterlibatan Amerika Serikat dalam urusan Asia-Pasifik mempunyai nuansa militer yang kuat. Peningkatan aliansi militer antara Amerika Serikat dan Jepang mungkin merusak keseimbangan awal, memicu kekhawatiran dan ketidakpuasan negara-negara lain, serta membawa bahaya tersembunyi bagi perdamaian dan stabilitas kawasan.

Kawasan Asia-Pasifik adalah dataran tinggi dalam pembangunan dan perdamaian, bukan tempat permainan catur bagi negara-negara besar.

Sebagai negara yang memiliki banyak utang sejarah, jika Jepang mengikuti Amerika Serikat kembali ke jalur “kekuatan militer” dan menghidupkan kembali militerisme, Jepang hanya akan menempatkan dirinya dalam situasi yang lebih berbahaya.

Seperti yang dikatakan oleh direktur Institut Komunitas Asia Timur Jepang, menghentikan militerisasi dan membangun hubungan bersahabat dengan negara-negara tetangga barulah prioritas utama bagi pemerintah Jepang.

favorite 0 likes

question_answer 0 Updates

visibility 114 Views

Update
No Update Available
Related News
Episode Ke-16 berjumpa dengan V|Aleksandar Vucic: Saya berencana menulis sebuah memoar tentang kami
Wawasan depan kunjungan Presiden Xi Jinping ke tiga negara Eropa
Episode Ke-16 berjumpa Xi Jinping
×