Rabu, 24 Maret 2021 04:31

Indonesia perlu maksimalkan manfaat dari perjanjian RCEP

Ekonomi

JAKARTA, 23 Maret 2021, Idekonomi telah merilis episode podcast terkini, bertajuk “Menakar RCEP: Perjanjian Dagang Terbesar di Dunia” yang membahas perjanjian dagang antar negara terbesar di dunia, yaitu Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang melibatkan 15 negara yaitu 10 negara ASEAN, Tiongkok, Korea Selatan, Jepang, Australia dan Selandia Baru. Idekonomi menghadirkan Yose Rizal Damuri, Kepala Departemen Ekonomi, Center for Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta.

Perjanjian perdagangan RCEP merupakan perjanjian perdagangan bebas yang diestimasikan mencakup 30 persen perekonomian dunia. Perjanjian dagang selama ini menjadi salah satu solusi dalam menyelaraskan aturan-aturan agar masyarakat yang terlibat di dalam perjanjian dagang ini dapat memiliki pemahaman akan apa yang boleh dan tidak boleh diperdagangkan, serta mana yang dapat didatangkan dengan dan tanpa bea/tarif. RCEP merupakan perjanjian dagang di tingkat kawasan dan diprakarsai oleh 10 negara ASEAN, termasuk Indonesia.

Ide mengenai perjanjian ini diinisiasi oleh Indonesia sebagai ketua ASEAN pada 2011. Menurut Yose, negara-negara ASEAN sepakat mendukung ide tersebut dan secara bertahap mulai melakukan negosiasi dengan negara mitra dagang ASEAN, seperti Tiongkok, Korsel, Jepang, Australia, Selandia Baru, dan India. “Estimasi proses ini hanya 3 tahun, namun ternyata praktik negosiasi berlangsung 8 tahun dan India tidak jadi terlibat. Di dalam negosiasi tersebut, Indonesia mengetuai proses negosiasi antar negara.”, tutur Yose. Penekanan ini penting, karena selama ini RCEP kerap dianggap sebagai inisiatif Tiongkok karena memang adanya ketergantungan dagang yang besar ke Tiongkok dari negara ASEAN. “Memang, Tiongkok memiliki perekonomian paling besar, sehingga ada anggapan bahwa Tiongkok yang memimpin. Secara historis, Tiongkok tidak terlalu suka berdagang dengan mitra-mitra rival seperti India, Australia, dsb. Secara politik, kepemimpinan Tiongkok dalam proses negosiasi RCEP ini tidak akan disukai oleh negara-negara lain. Posisi ASEAN strategis dan esensial dalam kesuksesan perjanjian dagang ini.”, menurut Yose.

RCEP memberikan platform agar hubungan antar negara-negara yang terikat dalam perjanjian dagang ini dapat lebih harmonis. Selama ini, perjanjian dagang antar ASEAN dan masing-masing negara mitra memiliki perbedaan. “Misal, perjanjian dagang ASEAN dan Tiongkok akan berbeda konteksnya dengan ASEAN dan Korsel. RCEP mencoba mencari kesamaan agar nantinya perdagangan antar kawasan bisa dilakukan.”, ujar Yose. Salah satu capaian terbesar dalam kesepakatan ini adalah menyepakati kesepakatan aturan barang asal (Rules of Origin). “Selama ini, sulit untuk memahami asal suatu barang. Misal, saya punya HP merek S yang berasal dari Korsel. Tanpa kita sadari, ternyata HP saya ini diproduksi di 17 negara. Layar displaynya dibuat di negara A, casingnya di negara B, dan seterusnya. (Dengan kesepakatan RCEP ini), tiap negara memiliki jaring produksi internasional yang lebih baik dan akan memudahkan bisnis di kawasan dagang ini lebih baik.”, menurut Yose.

Namun ternyata, Indonesia masih memiliki jaring produksi internasional yang cukup rendah dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan mitra dagang. Ada kekhawatiran bahwa Indonesia hanya menjadi pasar dari perjanjian dagang ini. Namun, Yose merasa hal itu tidak menjadi kekhawatiran karena Indonesia telah sejak lama terbuka dengan negara mitra dagang lain di kawasan ASEAN. “Kalau kerugian, saya rasa hampir tidak ada. Namun karena Indonesia memiliki jaring produksi internasional yang lemah memungkinkan kita untuk tidak bisa memanfaatkan keuntungan perjanjian dagang ini dengan maksimal.”, menurut Yose.

Ada dua hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan jaring produksi internasional, menurut Yose, yaitu investasi dan perdagangan. Indonesia saat ini masih memiliki investasi asing yang rendah. Menurut Yose, keterbukaan terhadap pemodal asing menjadi kunci dalam meningkatkan jaring produksi internasional. Selain itu, perdagangan dari sisi impor. Selama ini ada mindset bahwa semua barang harus diproduksi dalam negeri. Padahal, tidak bisa selamanya kondisi tersebut tercapai. Rantai pasok perlu dilengkapi dari berbagai negara. Dalam beberapa kasus, Indonesia telah sukses melakukan hal ini seperti yang telah dilakukan dalam industri mie instan. “Tanpa memproduksi gandum, industri tersebut bisa mendunia karena jaring produksi internasional.”, menurut Yose.

---
Idekonomi merupakan media yang bertekad untuk membumikan pemahaman mengenai isu ekonomi agar mudah dipahami melalui wawancara interaktif bersama ahli dan dikemas dalam bentuk siniar (podcast) serta wadah lainnya. Dengarkan secara lengkap pembahasan mengenai isu tersebut di bit.ly/spotify-idekonomi. Sampaikan ide untuk pembahasan di episode berikutnya serta saran, masukan dan ajakan kolaborasi atau kerjasama melalui kotak surel kami di contact.idekonomi@gmail.com (Ilman)

favorite 2 likes

question_answer 0 Updates

visibility 1049 Views

Update
No Update Available
Related News
Petani kopi Indonesia belajar pengolahan biji kopi di Tiongkok
Serangkaian angka ini buktikan optimisme dunia terhadap ekonomi Tiongkok
Xi Jinping tegaskan untuk dorong pembangunan Tiongkok bagian tengah
×