“Sanksi sepihak yang dikenakan AS dan sejumlah negara lainnya kepada Tiongkok telah melanggar hukum internasional dan mengakibatkan dampak negatif serta efek limpahan terhadap HAM rakyat Tiongkok, Tiongkok memperoleh dukungan untuk memberikan tanggapan yang diperlukan secara administratif dan hukum.”
Demikian dinyatakan Alena Douhan, Pelapor Khusus PBB dalam sesi ke-57 Dewan HAM PBB yang telah berlangsung selama satu bulan hingga tanggal 9 Oktober kemarin.
Sementara itu, melalui pidato bersama dan pidato sepihak, lebih dari 100 negara mendukung pendirian Tiongkok, mereka menekankan bahwa urusan Xinjiang, Hong Kong dan Xizang (Tibet) adalah urusan dalam negeri Tiongkok, dan menentang AS melakukan intervensi.
Hal tersebut sepenuhnya menunjukkan, perilaku AS dan beberapa negara Barat yang ingin mempolitisasi isu HAM tidak mendapat dukungan publik.
Pada tahun 70-an abad lalu, AS mengeluarkan slogan “Dilplomasi HAM” yang bertujuan untuk menghambat Uni Soviet. Saat ini, AS mengabaikan rekam jejak yang buruk HAM-nya sendiri, dan memainkan kartu HAM ke dunia luar, ini telah menjadi cara utama AS untuk menekan negara lain dan mempertahankan hegemoninya.
Jadi, bagaimana AS melancarkan Perang HAM, cara apa saja yang digunakannya, dan apa tujuannya?
Pemerintah AS Menstigmatisasi Negara Lain
Untuk mengintervensi urusan intern negara lain, AS terlebih dahulu membuat daftar nama kejahatan HAM. Dengan Venezuela sebagai contoh, selama beberapa tahun belakangan ini, dengan alasan masalah HAM, AS terus meningkatkan sanksi ekonomi kepada Venezuela, sehingga menyebabkan Venezuela mengalami krisis ekonomi, krisis kemanusiaan dan krisis pembangunan.
Sementara itu, AS pun membuat laporan terkait untuk memfitnah negara lainnya. Contoh yang paling tipikal adalah Laporan HAM di Berbagai Negara yang dikeluarkan oleh Departemen Luar Negeri AS. Misalnya tentang masalah Xinjiang, AS berulang kali membuat kebohongan dalam laporannya, dan mengenakan berbagai sanksi kepada Tiongkok dengan alasan tersebut, termasuk melarang impor produk Xinjiang dan membekukan aset pejabat Xinjiang. Tujuannya adalah mencoreng citra internasional Tiongkok dan menghambat pembangunan Tiongkok.
Selain itu, melaksanakan Yuridiksi Lengan Panjang dengan hukum domestiknya pun adalah sebuah cara penting AS. Pada tahun 2015, Senat AS mengeluarkan Undang-Undang Akuntabilitas Hak Asasi Manusia Global Magnitsky, yang memberikan hak kepada pemerintah AS untuk melakukan yuridiksi lengan panjang terhadap negara lain dan individu dengan alasan HAM, termasuk sanksi ekonomi dan moneter serta pembekuan aset. Sejak konflik Rusia-Ukraina meletus, berdasarkan undang-undang tersebut, AS menjatuhkan sanksi kepada sejumlah pejabat dan perusahaan Rusia untuk bertujuan melemahkan Rusia dan mempertahankan hegemoninya.
Organisasi-organisasi Non Pemerintah Beraksi Bersama
Selain pemerintah dan media, AS masih memiliki satu peran penting dalam Perang HAM-nya terhadap luar negeri, yaitu organisasi non pemerintah (NGO). Sejauh ini, di AS terdapat sekitar 2 juta organisasi non pemerintah. Secara nominal, mereka adalah organisasi non pemerintah, tapi sebenarnya memiliki berbagai macam hubungan dengan pemerintah. Sejumlah organisasi non pemerintah menjunjung tinggi bendera demokrasi dan HAM, tapi secara diam-diam mereka menghasut perpecahan dan kerusuhan, merencanakan krisis politik, menciptakan kebohongan dan rumor, serta melakukan penetrasi nilai.
Ternyata, organisasi non pemerintah AS telah membuat masalah di berbagai penjuru dunia dengan tiga cara utama mereka. Pertama, menyelenggarakan pelatihan bersubsidi, mereka secara langsung menghasut protes lokal dan gerakan oposisi. Kedua, melalui apa yang disebut sebagai teknologi intelejen sumber terbuka (OSINT), menggunakan gambar satelit, dan data media sosial melakukan pemantauan jarak jauh terhadap negara sasaran, dan membuat laporan palsu melalui jalur perakitan. Ketiga, mengeluarkan pernyataan untuk membangun momentum di berbagai ajang internasional guna menekan negara sasaran.
Organisasi non pemerintah AS bahkan berperilaku lebih halus untuk mempromosikan nilai-nilai ala AS. Mereka mengibarkan spanduk yang bersuara tinggi, mencoba mempengaruhi dan mengubah sistem politik serta nilai-nilai sosial negara lainnya untuk menciptakan sebuah lingkungan internasional yang sesuai dengan kepentingan AS.
Memanipulasi Topik HAM dengan Mekanisme Multilateral
AS juga akan menjulurkan “dalang HAM-nya” ke mekanisme multilateral. PBB sebagai platform praktik inti multilateralisme, mencakup topik-topik bidang penting seperti perdamaian, keamanan dan HAM, dan AS menganggapnya sebagai platform utama untuk melancarkan “perang HAM” kepada negara lain.
Selama ini, sembari memanfaatkan masalah HAM untuk kerap mendorong berbagai resolusi negara lain, memfitnah dan memberi tekanan politik pada negara-negara berkembang, AS juga menghambat penyelesaian sejumlah masalah kemanusiaan darurat. Contohnya, AS selalu memihak Israel dalam masalah Palestina-Israel, dan menyalahgunakan hak vetonya pada rancangan resolusi terkait dalam DK PBB.
Sejak konflik Palestina-Israel putaran baru terjadi pada bulan Oktober tahun 2023, AS berkali-kali menggunakan hak vetonya untuk menghambat gencatan senjata di Gaza. Bulan April lalu, AS kembali memveto sebuah rancangan resolusi terkait embargo senjata kepada Israel dalam Dewan HAM PBB. Menghadapi situasi kehidupan rakyat Gaza yang menyedihkan itu, AS hanya memperhatikan ego politiknya sendiri.
Tanggal 24 September lalu, dalam Dewan HAM PBB di Jenewa, segelintir negara termasuk AS menyerang dan mencoreng keadaan HAM Tiongkok dengan memanfaatkan isu-isu yang berkaitan dengan Xinjiang. Sekitar 80 negara membacakan pernyataan bersama untuk mendukung Tiongkok, juga terdapat 20 negara lainnya menyatakan pendirian adilnya untuk mendukung Tiongkok dengan cara yang berbeda-beda, mereka dengan jelas menentang politisasi masalah HAM, dan menentang intervensi terhadap urusan dalam negeri negara lain dengan HAM sebagai alasan.
Perbuatan segelintir negara termasuk AS tersebut sekali lagi mengungkapkan apa yang disebut sebagai standar ganda kepada masyarakat internasional. Masyarakat ingin bertanya, AS yang begitu memedulikan HAM kaum Muslim, mengapa terus menghasut dan mendukung perang di kawasan Timur Tengah serta mengakibatkan sejumlah besar korban kaum Muslim yang tak berdosa?
Mengapa mereka mengabaikan ketidakadilan sejarah yang dialami oleh rakyat Arab, dan tidak mendukung Palestina menjadi negara anggota resmi PBB? Mengapa mereka memainkan perannya untuk mewujudkan gencatan senjata permanen di Gaza dan penarikan tentara secara menyeluruh?
Mayoritas negara yang menjunjung keadilan dan kesetaraan sudah menyadari trik yang dimainkan AS, mereka telah melihat jelas bahwa AS hanya menggunakan HAM sebagai alasan untuk mengintervensi urusan dalam negeri Tiongkok dan negara berkembang lainnya. Sejumlah 100 lebih negara berkembang termasuk negara-negara Islam turut mendukung pihak Tiongkok dalam Dewan HAM PBB, hal tersebut bukan hanya untuk menjaga hak sah pihak Tiongkok, namun juga untuk menjaga keadilan dan kesetaraan internasional, menjaga hak dan kepentingan bersama negara-negara berkembang, serta menjaga prinsip dasar hubungan internasional untuk tidak mengintervensi urusan dalam negeri negara lain. Suara dari 100 lebih negara sepenuhnya membuktikan bahwa manipulasi politik segelintir negara sudah semakin ditentang oleh masyarakat internasional.
Akselerasi Kemerosotan Hegemoni ala AS
James Peck, cendekiawan ilmu sejarah dan hubungan luar negeri AS menunjukkan bahwa alasan mendasar AS memolitisasi HAM adalah karena strategi globalnya berlawanan dengan standar HAM internasional. Untuk menjaga hegemoninya, AS terus melancarkan perang, secara ilegal mengintervensi urusan dalam negeri negara lain, dan membuat bencana kemanusiaan, hal-hal tersebut berjalan terbalik dengan prinsip HAM.
Dari aspek lainnya, AS yang giat memainkan “kartu HAM-nya” sebenarnya juga mencerminkan kemerosotan hegemoninya. Seiring dengan perkembangan multipolarisasi dunia, AS semakin tidak sanggup mempertahankan kepemimpinan globalnya.
HAM bukan hanya dimiliki oleh segelintir negara, lebih-lebih tidak boleh dijadikan alat untuk menekan negara lain dan mengintervensi urusan dalam negeri negara lain.
Dewasa ini, masyarakat internasional secara umum berpendapat bahwa jalur perkembangan HAM berbagai negara seharusnya ditetapkan oleh keadaan negara masing-masing dan keinginan rakyat negara masing-masing, sedangkan konsultasi masalah HAM hendaknya menjunjung multilateralisme. Keadaan HAM dalam negeri AS sudah penuh dengan kekacauan, tapi masih ingin berperan sebagai “juri HAM”, hal tersebut tidak hanya mengungkapkan standar gandanya, tapi juga dengan serius mengikis dasar tata kelola HAM global yang baik. Perbuatan yang berlawanan dengan arus sejarah tersebut hanya akan memicu penentangan keras negara lain, dan mengakselerasi kemerosotan hegemoni ala AS.