Baru-baru ini, koran Amerika Serikat, USA Today, merilis artikel Tom Nichols, Profesor Akademi Militer Angkatan Laut AS, untuk menganalisa tindakan diplomasi Amerika belakangan ini dan membuat kesimpulan bahwa politik diplomasi AS cenderung tidak terkontrol. Sedangkan sosok John Bolton, Asisten Urusan Keamanan Nasional Presiden, sering muncul dalam urusan diplomasi AS belakangan ini.
Sebagai tokoh sayap elang AS, Bolton pernah mengatakan ketika menjabat sebagai Wakil tetap AS untuk PBB, bahwa “Amerika akan membiarkan PBB memainkan peranannya apabila diperlukan. Bagi Amerika, masalah yang satu-satunya ialah sesuai dengan kepentingan negara sendiri. Kalau kamu tidak suka, saya terasa sesal, tapi inilah kenyataan.”
Setelah menjabat sebagai Asisten Urusan Keamanan Nasional Presiden AS, Bolton terus melontarkan perkataan yang tak ada buktinya, seperti “Rudal Tiongkok mengancam Rusia”, tapi disangkal oleh Rusia dengan pernyataan bahwa yang mengancam kepentingan negara Rusia bukan Tiongkok, melainkan AS dan NATO.
Dewasa ini dunia sedang mengalami perubahan besar-besaran. Negara-negara berkembang sudah mengalami kebangkitan, negara pasar baru sudah menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi dunia. Pada Desember 2018, Tiongkok mengeluarkan laporan “Perubahan pola ekonomi internasional dan pilihan strategis Tiongkok pada masa mendatang” dan memprakirakan, pada tahun 2035, PDB negara-negara berkembang akan melampaui negara-negara maju, dan menduduki 60 persen dalam ekonomi dan investasi global.
Fakta menunjukkan, periode hegemoni AS sudah berlalu. Apabila “John Bolton” tetap ingin dengan “cara lama” menyelesaikan “masalah baru”, telah menunjukan kurang percaya dirinya untuk menghadapi situasi umum dewasa ini. Dengan dihasut orang seperti “John Bolton”, kini diplomasi AS seperti kuda yang sulit dikendalikan, dan membawa semakin besar risiko kepada AS.