Senin, 30 Januari 2023 14:14

Setelah Nichols, siapa lagi?

Luar Negeri

Pada 55 tahun yang lalu, Martin Luther King, seorang aktivis HAM keturunan Afrika tewas dibunuh di Kota Memphis, negara bagian Tennessee.

Setelah 55 tahun berselang di kota yang sama, seorang pria keturunan Afrika bernama Tyre Nichols yang berusia 29 tahun dipukul tewas oleh 5 petugas polisi dan memicu kemarahan seluruh AS.

Pada tanggal 27-28 Januari lalu waktu setempat, demonstrasi berskala besar telah meletus di puluhan kota AS. Masyarakat meneriakkan “Tiada Ketenteraman Jika Tidak Ada Keadilan”, “Polisi AS sama sekali tidak memedulikan nyawa, mereka telah menyalahgunakan kekuasaannya untuk melawan rakyat”, media AS khawatir keributan yang terjadi di seluruh AS akibat ‘insiden Floyd’ mungkin akan terjadi kembali.

Presiden AS Joe Biden dalam pernyataannya seusai insiden tersebut mengimbau masyarakat untuk berkepala dingin, pejabat Gedung Putih pun sudah melakukan rapat darurat via telepon dengan 16 walikota di seluruh AS, dan mengingatkan pejabat berbagai negara bagian dan daerah untuk mempersiapkan diri menghadapi demonstrasi.

Dua tahun yang lalu, seorang pria keturunan Afrika bernama George Floyd tewas akibat kekerasan polisi dan langsung memicu demonstrasi ‘Black Lives Matter’ yang terjadi di berbagai tempat di AS. Setelah itu, sistem kepolisian AS berjanji mereka akan melakukan reformasi besar, namun tragedi serupa kerap terjadi kembali.

Pada bulan Agustus tahun 2020, seorang pria keturunan Afrika Jacob Blake mengalami paralisis akibat ditembak 7 peluru dari belalang oleh seorang petugas polisi bernama Rusten Sheskey di negara bagian Wisconsin. Bulan April tahun 2022, di kota Grand Rapids Michigan, seorang pria keturunan Afrika Patrick Lyoya ditembak mati karena berbentrokan dengan polisi dalam sebuah pemeriksaan lalu lintas. Pada bulan Januari tahun 2023, Keenan Anderson, seorang guru keturunan Afrika tewas akibat ditembak pistol Taser oleh polisi Los Angeles.

Dipantau dari penyebab mendasarnya, ‘perlakuan istimewa’ polisi AS terhadap masyarakat keturunan Afrika berasal dari rasisme yang berakar mendalam di bawah topeng demokrasi ala AS. Data situs web ‘Peta Kekerasan Polisi’ AS menunjukkan, terdapat 1.186 korban tewas akibat kekerasan polisi AS, di antaranya terdapat 26% kelompok keturunan Afrika, sementara populasi keturunan Afrika hanya menempati 13% dari populasi total di AS. Data statistik dari tahun 2013 hingga 2022 menunjukkan, tingkat penegakan hukum kekerasan yang dialami keturunan Afrika menempati sekitar 2,9 kali lipat daripada kelompok kulit putih.

Pada bulan November tahun 2022, sebuah artikel yang dikeluarkan oleh organisasi non-profit “People For the American Way” yang bertajuk “Understanding the History of Policing in America and Police Violence Against Black Communities” mengungkapkan penyebab yang lebih vital. Dimulai dari tim patroli budak hingga organisasi teroris supremasi kulit putih, sampai dengan ‘ketakutan terhadap kulit putih’ yang muncul pada zaman gerakan HAM, beberapa faktor tersebut telah mendasari budaya kekerasan polisi AS dan terus mempengaruhi perilaku polisi hingga saat ini. Ini pulalah sebabnya mengapa sejumlah analisis menganggap bahwa mustahil untuk melakukan reformasi terhadap sebuah lembaga yang berakar rasisme. Rasisme sudah tertanam dalam gen sistem kepolisian AS.

Sementara itu, sengitnya perlawanan partai politik di AS juga semakin menyulitkan reformasi sistem kepolisian AS. Pada bulan Maret tahun 2021, Dewan Perwakilan AS telah meluluskan RUU Reformasi Polisi yang dinamai George Floyd, Biden pernah secara terbuka menyatakan dirinya menjamin RUU tersebut disahkan dalam Kongres pada Mei tahun 2021, yaitu bertepatan dengan peringatan satu tahun tewasnya Floyd. Akan tetapi perundingan kedua partai politik terputus dan gagal mencapai kesepahaman.

Selain itu, budaya senjata di AS dan penegakan hukum kekerasan polisi pun menjadi sebuah siklus yang buruk. Berdasarkan statistik lembaga survei senjata ringan yang bermarkas di Swiss, jumlah senjata pribadi di AS mencapai sekitar 393 juta unit.

Presiden AS Joe Biden dalam sebuah pidatonya yang disampaikan baru-baru ini mengakui, impian yang diajukan Martin Luther King tentang kesetaraan dan keadilan masih belum terwujud, dirinya sekali lagi mengimbau untuk berjuang demi ‘jiwa’ AS. Namun di manakah ‘jiwa’ AS? Apakah berada dalam teriakan penderitaan Nichols?

favorite 0 likes

question_answer 0 Updates

visibility 132 Views

Update
No Update Available
Related News
Buka situasi baru kerja sama dan menang bersama
Majalah Qiushi rilis artikel Xi Jinping
Leaders Talk: Wawancara khusus dengan Presiden Kongo (Brazzaville)
×