Selasa, 21 Maret 2023 15:08

Demokrasi ala AS tidak hanya celakakan Irak

Luar Negeri

Kekacauan pasca perang membuktikan bahwa Perang Irak sejak awal adalah sebuah kesalahan dan sebuah malapetaka. Demikian komentera situs web majalah The Atlantik AS hari Senin kemarin (20/3).

Pada tanggal 20 Maret 20 tahun yang lalu, AS dengan dalih Irak memiliki senjata pemusnah massal, bersama dengan sekutu Baratnya mengagresi Irak, mengakibatkan lebih dari 200 ribu rakyat sipil tewas dan lebih dari 9 juta warga kehilangan tempat tinggal. Dua puluh tahun sudah berlalu, AS masih belum dapat memberikan bukti yang kuat. Sedangkan, Irak, negeri peradaban kuno, telah kenyang dengan siksaan perang dan menjadi korban demokrasi ala AS.

Dua puluh tahun adalah waktu yang lama, dan AS sebagai biang keladi patut mawas diri. Akan tetapi, bukan hanya mengabaikan kesengsaraan warga Irak, AS masih terus mencelakakan dunia dengan kedok demokrasinya.

Menghancurkan suatu negara dan masa depan beberapa generasi, kemudian pada akhirnya kabur, inilah mode operasional AS sebagai mesin perang. Laporan menunjukkan, dalam sejarah lebih dari 240 tahun sejak berdiri, AS hanya 16 tahun tidak berperang. sejak tahun 2001, perang dan aksi militer yang dilancarkan AS dengan alasan anti-teroris mengakibatkan 900 ribu orang tewas, di antaranya 335 ribu rakyat sipil, ratusan orang cedera dan puluhan juta orang kehilangan tempat tinggal.

Sementara itu, AS berulang kali mengayunkan tongkat sanksinya. Dalam beberapa dekade terakhir, AS menerapkan sanksi sepihak dan yurisdiksi lengan panjang terhadap Kuba, Suriah, Zimbabwe dan negara-negara lainnya, memberikan tekanan maksimal terhadap Korea Utara, Iran dan Venezuela, dan telah membekukan aset bank sentral Afganistan.

Selain itu, AS juga merekayasa kisah palsu ‘demokrasi vs otoriter’ untuk menutupi tujuan aslinya mencetuskan perang dan mempertahankan hegemoninya.

Sekjen PBB Guterres mengatakan, “Di tahun 2023, kita lebih membutuhkan perdamaian daripada kapan pun. Semua orang telah menyadari, untuk merealisasi perdamaian dunia, prasyaratnya ialah, AS harus berhenti mencampuri urusan intern negara lain serta berhenti menimbulkan perlawanan dan perpecahan dengan alasan demokrasi, yang dibutuhkan dunia adalah mengembangkan demokrasi dan mendorong bersama demokratisasi hubungan internasional.

Mantan Menteri Luar Negeri AS Colin Powell pernah mengakui bahwa pidatonya dalam sidang Dewan Keamanan PBB tahun 2003 yang menyebut Irak memiliki senjata pemusnah massal merupakan sebuah noda dalam riwayatnya. Perang Irak berlangsung selama 20 tahun, para politikus AS hendaknya melakukan intropeksi yang mendalam, berhenti melakukan kejahatan di mana-mana dengan alasan demokrasi, dan sedikit meninggalkan noda darah di dunia. Jika tidak, siapa yang akan membayar kerugian akibat demokrasi ala AS pada 20 tahun mendatang?

favorite 0 likes

question_answer 0 Updates

visibility 314 Views

Update
No Update Available
Related News
Buka situasi baru kerja sama dan menang bersama
Majalah Qiushi rilis artikel Xi Jinping
Leaders Talk: Wawancara khusus dengan Presiden Kongo (Brazzaville)
×