“Kenaikan tarif akan mendorong kenaikan harga dan memperburuk inflasi”, “tidak bermanfaat bagi kepentingan jangka panjang para buruh dan Amerika”, “rantai pasokan dan produsen Amerika akan menjadi korbannya”... Seiring dengan semakin dekatnya pelantikan presiden baru AS, kekhawatiran di dalam negeri AS terhadap perang tarif baru yang diluncurkan AS semakin meningkat.
Pada bulan Maret tahun 2018, Donald Trump yang menjabat sebagai presiden AS saat itu mengenakan kenaikan tarif berskala besar terhadap barang-barang impor dari Tiongkok, memprovokasi pergesekan ekonomi dan perdagangan Tiongkok-AS. Sejak tahun 2021, pemerintah Biden melanjutkan kebijakan kenaikan tarifnya. Pada bulan November tahun 2024, presiden terpilih Trump menyebut akan menandatangani perintah eksekutif pengenaan tarif tambahan sebesar 10% terhadap komoditas Tiongkok pada hari pertama dirinya menjabat sebagai presiden.
Survei yang dilakukan terhadap 2.000 penduduk AS pada bulan Desember tahun 2024 menunjukkan, sepertiga responden meningkatkan pembeliannya karena khawatir terhadap kenaikan tarif di masa mendatang. Perilaku penimbunan barang seperti ini tidak mengejutkan. Beberapa riset menunjukkan, tekanan tarif pada akhirnya akan beralih ke konsumen AS. Menurut perhitungan perusahaan Moody’s sebelumnya, para konsumen AS menanggung 92% tarif tambahan terhadap Tiongkok, setiap tahun, pengeluaran setiap keluarga AS akan bertambah 1.300 dolar AS karena tarif.
Tujuan lain AS yang menaikkan tarif adalah mendorong kembalinya industri manufaktur, tapi hasilnya malah kontraproduktif. Dalam krisis moneter internasional, proporsi industri manufaktur dalam PDB AS tercatat 12%, saat ini, telah menurun sampai sekitar 10%. Hal ini menunjukkan, daripada memperkuat industri manufaktur melalui tarif, lebih baik merenungkan masalah riil yang ada dalam ekonomi AS.
Dilihat dari sisi ketenagakerjaan, dengan tarif terhadap besi, baja dan aluminium Tiongkok yang dikenakan oleh AS sebagai contoh, Direktur Pusat Regulasi dan Pasar di Institut Brookings, Sangjay Patnaik, dalam penelitiannya belakangan ini menemukan, tarif mungkin melindungi sebagian peluang kerja dalam industri besi baja AS, namun setiap perusahaan yang menggunakan besi baja AS harus membayar harga yang lebih tinggi, dan terpaksa mengurangi kapasitas produksinya, sehingga tidak dapat merekrut lebih banyak pekerja. “Tarif mengakibatkan berbagai sektor AS setidaknya kehilangan 140-275 ribu pekerjaan,” tutur Patnaik.
Perang tarif juga akan mengakibatkan ketidakseimbangan perdagangan AS semakin serius. Walaupun kenaikan tarif membuat defisit perdagangan AS dengan Tiongkok berkurang, namun keseluruhan defisit perdagangan terus naik. Defisit perdagangan luar negeri AS di tahun 2022 mencetak rekor tertinggi yaitu sebesar 951,2 milyar dolar AS, bahkan tetap tinggi hingga 773,4 milyar dolar AS di tahun 2023, jauh lebih tinggi daripada 621 milyar dolar di tahun 2018. Ada ekonom yang menganalis bahwa jika negara lainnya menerapkan tarif balasan, volume total ekspor AS dan volume total perdagangan global mungkin sama-sama akan menurun.
Sebagai dua ekonomi terbesar di dunia, fakta telah berulang kali membuktikan, kesuksesan AS dan Tiongkok masing-masing adalah peluang bagi satu sama lain bukannya tantangan, bumi yang luas dapat menampung pembangunan dan kemakmuran bersama Tiongkok dan AS, sedangkan perang tarif dan perang perdagangan tidak akan melahirkan pemenang. Diharapkan, pemerintah baru AS dapat berpikir dengan serius, dapat mengambil kebijakan dengan hati-hati, berjalan searah dengan Tiongkok, serta kembali ke rel tepat yang saling menguntungkan dan menang bersama, saling menyejahterakan satu sama lain bahkan dunia.