Jumat, 08 Agustus 2025 08:15

Tiongkok; pemimpin regional dan global

Luar Negeri

Sukron Makmun
(Intelektual muda NU, Wakil Sekjen PERHATI dan
Analis Geopolitik Internasional)

Kebangkitan Kolektif Negara Belahan Selatan
Dulu, kemajuan selalu identik dengan Barat atau dunia belahan utara. Negara anggota G7 didominasi oleh negara-negara di belahan tersebut. Tapi kini, negara-negara Selatan mulai bangkit. Sebagian lagi, kemajuannya semakin tak tertandingi.
Ada beberapa tanda yang menunjukkan terjadinya kebangkitan secara kolektif di belahan selatan. Perubahan yang betul-betul nyata. Efeknya terhadap tatanan dunia baru juga semakin terasa.

Beberapa tahun terakhir ini, publik dan kaum intelektual Arab justru mulai mengungkap kekagumannya terhadap Asia, persisnya kemajuan Tiongkok, Korea Selatan, Jepang dan Singapura. Bahkan tidak sedikit pula dari kaum intelektual Arab yang terang-terangan menyebut Asia dalam banyak hal, kini sudah lebih maju dari Eropa.

Di Mesir, fenomena kemajuan Tiongkok mendapat sorotan khusus, karena sistem dan kultur politik negara terbesar di Asia Timur ini, sangat mirip dengan sistem dan kultur politik dunia Arab, yakni sistem dan kultur politik totaliter. Bagi para kubu kontra musim semi Arab yang menggemakan jargon demokrasi, fenomena Tiongkok menjadi amunisi dalih mereka bahwa dunia Arab untuk meraih kemajuan tidak harus mengadopsi sistem demokrasi seperti di dunia Barat, tapi cukup meniru kearifan lokal Tiongkok.

Dalam upaya mengikuti jejak Tiongkok itu, negara-negara Arab dihimbau untuk segera memilih opsi melakukan reformasi terencana seperti reformasi yang dilakukan Deng Xiaoping, sehingga Tiongkok dapat meraih kemajuan seperti saat ini.

Bukti nyata, di akhir masa jabatan kedua Presiden Xi Jinping (2022), GDP Tiongkok mencapai sekitar USD 17.848,- Perlu diketahui, sekadar untuk melihat begitu cepatnya kenaikan GDP Tiongkok, bahwa GDP Indonesia selama 10 tahun terakhir: tahun 2012, GDP Indonesia sekitar USD 3.562,-. Tahun 2021 menjadi sekitar USD 4.349. Artinya, kalau dalam periode ketiga pemerintahan Xi pertumbuhan GDP Tiongkok masih sama maka secara statistik, ekonomi Tiongkok sudah mengalahkan Amerika Serikat (AS).

Selain itu, Tiongkok juga mendominasi daftar 500 perusahaan terbesar di dunia versi Fortune 500, majalah ekonomi AS yang dipercaya reputasi baiknya. Dari 500 perusahaan, 146-nya berasal dari Tiongkok. Sementara AS tinggal 124; 47-nya dari Jepang, Jerman 28, dan dari Inggris tinggal 18 perusahaan.

Tiongkok berhasil mengentaskan setidaknya 1 miliar manusia dari kemiskinan absolut dalam waktu singkat; kurang dari 50 tahun ––jumlah ini lebih banyak dari seluruh penduduk Eropa dan Amerika dijadikan satu. Dengan begitu, Tiongkok menjadi sah beralasan bahwa kekuasaan bukan semata kekuasaan. Kekuasaan adalah amanah untuk menyejahterakan rakyat.

Tiongkok sebagai negara terbesar pertama –secara populasi– di dunia mampu berkolaborasi dengan tetangganya, baik di Asia Timur sendiri, maupun negara-negara ASEAN. Sebagai negara besar, ia menunjukkan kelasnya; memimpin kemandirian di kawasan.

Untuk konteks Indonesia, jalinan persahabatan Indonesia-Tiongkok kembali mesra di Era Presiden Joko Widodo. Seakan terulang kembali kenangan mesra hubungan diplomatik kedua negara era 1960-an. Terbentuknya poros Jakarta-Peking semakin mempertegas kedekatan bilateral kedua negara pada saat itu.

Kini, kedua negara ini saling bersinergi dalam hubungan bilateral strategis- komprehensif dalam mewujudkan visi yang searah, Indonesia menuju Poros Maritim Dunia (PMD) dan Tiongkok menjadi episentrum kekuatan politik dan ekonomi-maritim global melalui strategi kebijakan Maritim Silk Road (MSR) dalam mekanisme Belt and Road Initiative (BRI). Sebagai strategi besar kebijakan luar negeri Tiongkok, BRI berpotensi mempercepat pertumbuhan konektivitas dan pembangunan ekonomi maritim modern dalam lingkup regional dan global.

Selama 70 tahun terakhir dan lebih, Tiongkok telah mencapai pembangunan melalui kemandirian dan perjuangan yang berat, tidak pernah bergantung pada belas kasihan orang lain. Tiongkok dan Indonesia sedang menikmati peluang yang sangat baik, “kebangkitan bersama secara damai”. Tiongkok merupakan negara besar yang terletak di ujung Timur benua Asia-Eropa, sedangkan Indonesia terletak di lokasi poros tengah antara Samudera Pasifik dan Samudera India yang jaraknya tidak jauh dari Tiongkok. Posisi kedua negara ini sangat penting sehingga tidak ada alasan untuk tidak bekerjasama.

Tiongkok siap menjalin kerjasama yang mutualistik dengan negara manapun. Jaringan relasi merupakan nilai yang luar biasa kuat dalam budaya Tiongkok. Relasi adalah kekayaan. Tiongkok rela membangun hubungan jangka panjang dengan siapa saja. Bukan sekadar keuntungan, tapi kepercayaan. Bisnis yang sehat dibangun dari kepercayaan, bukan retorika.

Tiongkok selalu mendorong negara-negara lain untuk bisa mandiri, dan maju. Tiongkok tidak ingin hebat sendiri, tapi mengajak yang lain untuk “berkembang bersama, makmur bersama”. Globalisasi terlalu kuat untuk dilawan sendiri. Tiongkok dengan berbagai negara termasuk Indonesia dan negara-negara di Eropa, misalnya, membangun bersama “Kawasan Ekonomi Jalan Sutera Baru dan “Jalan Sutera Maritim” dalam rangka meneruskan mendorong dua pasar besar di Asia dan Eropa ini dengan memberikan makna baru jalan sutera kuno dan menyejahterakan rakyat berbagai negara di sepanjang jalan sutera.

Dinamika Baru bagi Pembangunan Dunia
Tiongkok telah menghadirkan dinamika baru bagi tatanan dunia. Berbeda jauh dengan cara-cara AS, yang masih terus mempertahankan hegemoninya. Padahal negara lain yang lebih maju –hampir di segala bidang– telah lahir, yaitu: Tiongkok. Negeri Panda ini mau memberi jalan bagi yang lain untuk maju dengan prinsip kemanusiaan dan saling mendukung kemajuan. Pembangunan yang dicanangkannya selalu memperhatikan aspek keadilan dan keseimbangan. Kerjasama yang memposisikan mitranya secara terhormat dan sejajar.

Ketika dunia masih dalam kontrol dan bayang-bayang Barat, keadilan politik maupun ekonomi, hanya isapan jempol. Meskipun era kolonialisme telah berakhir, tapi praktek penindasan, dan kesewenang-wenangan masih terus berjalan. Barat yang dominan itu, selalu menganggap diri mereka berhak memperoleh ‘jatah singa’ dan menikmati berbagai keistimewaan di atas penderitaan negara lain dengan dukungan sejumlah lembaga dan seperangkat aturan hukum yang sengaja diciptakan demi menyangga dan melanggengkan dominasi mereka.

Karakter Tiongkok berbeda dengan Barat. Meskipun kuat, Tiongkok tidak menunjukkan kejumawaan dalam berdiplomasi dengan negara lain, termasuk dengan AS. Gaya bicaranya mengisyaratkan mutual respect, bahkan ketika berhadapan dengan negara kecil Afrika sekalipun. Ketika ada friksi pun, pejabat Tiongkok tidak agresif dan lebih terukur dalam memberikan pernyataan. Subtle is more. []

favorite 0 likes

question_answer 0 Updates

visibility 364 Views

Update
No Update Available
Related News
Revitalisasi menyeluruh pedesaan: Jalan perubahan dari "sudah makan?" ke "kamu baik-baik saja di kampung halaman, ya?"
Restorasi mangrove Tiongkok-Indonesia jadi contoh global
Pikiran baru memandu perjalanan baru, pariwisata pedesaan berkembang makmur, memicu revitalisasi pedesaan yang komprehensif
×