Selasa, 27 Oktober 2020 01:40

Anak perempuan rentan menikah dini di masa pandemi

Covid-19

JAKARTA, 13 Oktober 2020 - Idekonomi telah merilis episode podcast terkini, bertajuk “Girls Not Brides” yang membahas tren pernikahan anak di Indonesia khususnya di tengah pandemi, serta dinamika dibalik pemberian bantuan sosial yang turut berpotensi menjadi faktor pendorong meningkatnya pernikahan anak di Indonesia. Episode kali ini dikemas dalam segmen CeritaPuan, rubrik Idekonomi yang ditujukan untuk membahas isu-isu gender dan demografi dalam perspektif Ilmu Ekonomi. Pada segmen CeritaPuan Episode ke-5 ini, Idekonomi menghadirkan Andrea Adhi, Lead for Social Inclusion and Protection di Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia (PUSKAPA).

Pernikahan anak merupakan pernikahan yang terjadi ketika salah satu pasangan berusia di bawah 19 tahun (di bawah usia legal untuk menikah di Indonesia). Menurut data BPS pada 2018, setiap 1 dari 9 anak perempuan di Indonesia menikah sebelum umur 18 tahun. Pernikahan anak perempuan ini relatif lebih tinggi ketimbang anak laki-laki dimana terdapat 1 dari 100 anak laki-laki di Indonesia yang menikah di bawah umur. Anak perempuan lebih rentan untuk menjadi korban pernikahan anak dengan prevalensi sebesar 11,21%. Persentase tersebut dikalikan dengan jumlah populasi yang tinggi, menempatkan Indonesia sebagai negara dengan peringkat ke-10 dengan angka absolut pernikahan anak tertinggi di dunia, tambah Andrea.

Andrea menyebutkan bahwa terdapat empat faktor utama yang mendorong tingginya rasio pernikahan anak di Indonesia. Pertama, karakteristik sosio-ekonomi keluarga, dimana menurut studi “The Consequences of Child Marriage in Indonesia” yang diterbitkan Universitas Melbourne, perempuan dan laki-laki yang menikah di usia anak cenderung berada di kelompok keluarga berpendapatan rendah. Kedua, capaian pendidikan individu. Masih dari temuan studi yang sama, capaian pendidikan bagi anak yang menikah di bawah umur lebih rendah daripada teman-teman sebayanya, karena terdapat kecenderungan mereka putus sekolah lebih awal dibanding mereka yang tidak menikah. Ketiga, faktor tradisi dan agama masyarakat setempat. Salah satu contoh tradisi yang melanggengkan perkawinan anak di Indonesia adalah tradisi ‘menculik’ di Lombok dimana perempuan dilarikan ke rumah laki-laki untuk dinikahkan. Terakhir, penerapan hukum untuk perkawinan anak di Indonesia masih cenderung longgar, dimana dispensasi untuk pernikahan anak kerap kali dikabulkan dengan alasan yang mengatasnamakan agama.

Dengan kondisi krisis kesehatan dan ekonomi yang terjadi saat ini, terdapat kaitan erat antara fenomena ini dengan tingkat pernikahan anak. Orang tua yang frustasi terhadap situasi krisis dapat memberi tekanan psikologis yang besar pada anak, seperti yang dikemukakan Andrea, “anak (dapat) mengalami kekerasan karena orang tua yang stress. Ini memicu anak (ikut) menjadi stress, sehingga menikah dengan pacarnya merupakan opsi yang lebih baik (daripada tetap tinggal bersama orang tuanya).” Selain itu, keluarga yang pendapatannya berkurang atau hilang sepenuhnya banyak yang kemudian menikahkan anaknya untuk mendapatkan bantuan pemerintah yang khusus ditujukan kepada masyarakat yang sudah berkeluarga. Meskipun bantuan sosial dalam Program Keluarga Harapan (PKH) telah mewajibkan anak untuk selalu masuk sekolah sebagai salah satu persyaratannya, ini masih tidak cukup untuk mencegah pernikahan anak apabila tidak diiringi dengan akses yang mudah terhadap pendidikan.

Andrea menekankan bahwa pemerintah perlu bekerja lebih keras untuk mengawal penerapan dari UU No 16 tahun 2019 tentang perkawinan, hingga ke tingkat daerah. Selain itu, pemerintah juga harus memastikan masyarakat yang menikah memiliki akta nikah supaya anak mereka berhak untuk memiliki akta kelahiran, sehingga akses untuk mendapatkan bantuan sosial ekonomi tidak terhambat. Peran serta pemerintah dalam kebijakan yang digulirkan tidak serta merta cukup untuk memberantas pernikahan anak, masih diperlukan kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat untuk bersama mengawal UU No 16 tahun 2019 dan strategi nasional yang dirancang dalam RPJMN 2020-2024. Keterlibatan masyarakat dalam menjalankan kampanye informasi atau sosialisasi, khususnya terkait kesetaraan gender dan peluang yang dapat diperoleh selepas lulus sekolah, juga berperan penting dapat mengurangi kasus pernikahan anak. Sama halnya dengan pendidikan kesehatan, reproduksi dan seksual, yang dapat menekan pernikahan di bawah umur dan memudahkan komunikasi antara orang tua dan anak.


----
Idekonomi merupakan media yang bertekad untuk membumikan pemahaman mengenai isu ekonomi agar mudah dipahami melalui wawancara interaktif bersama ahli dan dikemas dalam bentuk siniar (podcast) serta wadah lainnya. Dengarkan secara lengkap pembahasan mengenai isu tersebut di Spotify, Apple Podcast, dan platform siniar lainnya. Sampaikan ide untuk pembahasan di episode berikutnya serta saran, masukan dan ajakan kolaborasi atau kerjasama melalui kotak surel kami di contact.idekonomi@gmail.com (Ilman)

favorite 2 likes

question_answer 0 Updates

visibility 983 Views

Update
No Update Available
Related News
Kemanjuran dan keamanan vaksin buatan Tiongkok tak boleh dimungkiri
AS maling teriak maling?
Beberapa negara yang tuntut Tiongkok untuk ‘Terbuka’ malah batasi warga Tiongkok masuki wilayahnya
×