JAKARTA, 22 April 2021. Serangkaian bencana alam telah terjadi di Indonesia dalam beberapa minggu terakhir, seperti siklon Seroja di Kab. Malaka, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dan gempa bumi di Malang, Jawa Timur. Kerusakan yang telah diakibatkan oleh bencana alam ini cukup besar, terutama kerusakan infrastruktur dan kerusakan laten setelah bencana, seperti kehilangan pekerjaan, peningkatan jumlah masyarakat yang jatuh miskin, dan hilangnya kesempatan belajar dan meningkatnya kerentanan terhadap penyakit karena tidak tersedianya fasilitas sekolah dan puskesmas.
Sebagai otoritas di tingkat daerah, Pemerintah Daerah di tingkat kabupaten/kota dan Provinsi memiliki kewajiban untuk menjadi first-responders atas bencana alam yang terjadi. Menurut Teuku Riefky, Peneliti dan Lead for Climate and Disaster Resilient Infrastructure Study LPEM FEB UI, Pemerintah Daerah di daerah bencana sebaiknya dapat merespon bencana secara cepat dan strategis. “Pertama, fokus untuk menyelamatkan korban yang terjebak dan terperangkap dalam reruntuhan gempa. Kedua, utamakan menolong masyarakat yang terdampak agar mampu memenuhi kebutuhan dasar, seperti tempat bermukim sementara, makanan minuman serta obat-obatan. Ketiga, fokus dalam memindahkan puing-puing hasil gempa yang menghambat arus bantuan dan aktivitas manusia.” ujar Riefky.
Selanjutnya, proses rekonstruksi pasca bencana perlu menjadi aspek yang diperhatikan. Tahapan pembangunan ulang infrastruktur yang rusak perlu dijadikan momentum dalam membangun infrastruktur yang tahan bencana. “Kegiatan evaluasi jenis kerusakan dalam bencana ini perlu ditekankan agar dapat meminimalisir biaya kerusakan di masa depan dengan membangun infrastruktur dan konstruksi yang lebih tahan bencana.” saran Riefky.
Dalam jangka panjang, proses rekonstruksi serta formulasi kebijakan terkait dengan kebencanaan perlu menjadi perhatian utama pemerintah di tingkat pusat maupun daerah. Koordinasi lintas tingkatan pemerintah diharapkan menjadi kunci dalam melakukan mitigasi bencana yang lebih efektif. “Seringkali kasusnya koordinasi antara pusat dan daerah lemah, di mana perencanaan di level pusat sulit diterjemahkan dan diimplementasikan secara optimum di level daerah. Apabila (koordinasi) ini bisa dilakukan (dengan lebih baik), segala jenis koordinasi, baik early warning system atau pembangunan infrastruktur tahan bencana, akan lebih signifikan dampaknya bagi ketahanan daerah dalam menghadapi bencana.” menurut Riefky.
Dalam hal teknis, early warning system dan infrastruktur tahan bencana merupakan formulasi kebijakan yang masih dapat dioptimalkan kedepannya, namun efektivitas ini tetap akan mengandalkan koordinasi yang sinergis dan koheren dari pusat dan daerah agar kebijakan dari level perencanaan bisa sukses sampai di level implementasi.