oleh
Arief Rosadi
Angga Kusuma WIjaya
(Seniors researcher - Institute
for Essential Reform (IESR))
Pendulum dunia sedang bergeser dari Utara ke Selatan. Ini berarti masa depan dan kiblat dunia akan ditentukan oleh negara-negara di wilayah Selatan yang sebagian besar didominasi oleh negara berkembang. Klaim Global South untuk memimpin dunia tidak hanya sebatas fantasi tapi ini mungkin diwujudkan. Laporan PWC (2017) memproyeksikan 4 dari 5 negara (China, India, Indonesia, dan Brazil) di kawasan Selatan akan menjadi ekonomi terbesar di dunia pada tahun 2025 dalam hal Produk Domestik Bruto (Gross Domestic Product/GDP) dan Paritas Daya Beli (Purchasing Power Parity/PPP).
Meskipun demikian, angka tersebut masih bersifat proyeksi. Negara-negara Selatan perlu bekerja keras untuk mencapainya. Ini bisa dilakukan apabila Negara-negara selatan mampu memperoleh target pembangunannya, sekaligus berkontribusi untuk mengatasi permasalahan global, seperti perubahan iklim. Meskipun kerap kali dilihat dari dimensi lingkungan, perubahan iklim membuka peluang untuk mendorong transformasi ekonomi hijau, khususnya bagi negara berkembang seperti Indonesia. Untuk mewujudkan, Indonesia dapat meningkatkan kerja sama dengan negara yang pembangunan hijaunya sedang bertumbuh pesat saat ini—Tiongkok.
Belajar dari China: Memimpin dengan Contoh Nyata
Sebagai negara yang sedang bangkit (rising), Tiongkok telah menunjukan kemajuan pertumbuhan ekonomi yang cukup signifikan. Merujuk pada laporan Biro Statistik Nasional Tiongkok yang menangkap perkembangan Produk Domestik Bruto (PDB) Tiongkok (2022) dari tahun 2013 sampai 2017, terlihat bahwa rata-rata GDP di kisaran 6.6% dengan nilai expor dan impor di tahun 2024 mencapai 3.58 triliun dolar AS dan nilai impor sebesar 2.3%. Tiongkok merupakan eksportir terbesar dunia dengan pangsa 14.6% dari total ekspor global pada tahun 2024. Hal ini menempatkan Tiongkok sebagai salah satu negara dengan perekonomian terbesar di dunia.
Tiongkok mempunyai model pendekatan pembangunan yang menekankan pada pembangunan hijau dan menyelaraskannya dengan pertumbuhan ekonomi serta aksi iklim. Pada Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-75 tahun 2020, Presiden Xi memberikan sinyal kuat kepada dunia bahwa Tiongkok siap untuk memimpin pembangunan ekonomi hijau. Beberapa target kebijakan telah dicanangkan seperti Dual Carbon Goals, 14th Five-Year Plan (2021-2025), disertai dengan beberapa insentif lokal seperti feed-in-tariff, subsidi untuk manufaktur kendaraan listrik, dan obligasi hijau (green bonds) Langkah ini secara efektif mendorong pertumbuhan industri hijau domestik Tiongkok dalam beberapa tahun terakhir.
Tiongkok saat ini memimpin pengembangan energi terbarukan dunia dengan hampir dua pertiga proyek tenaga surya dan angin global. Pada tahun 2024, negara ini telah memiliki kapasitas terpasang energi terbarukan dengan total kapasitas angin dan surya sebesar 520 GW dan 890 GW, masing-masing meningkat 18% dan 45% dari tahun sebelumnya. Tiongkok juga telah muncul sebagai pasar dan produsen kendaraan listrik terbesar di dunia, dengan pertumbuhan penjualan global hampir 80% pada tahun 2024. Pada tahap ini, Tiongkok menunjukkan bahwa langkah untuk mengatasi perubahan iklim dapat diselaraskan dengan pembangunan ekonomi hijau.
Pertanyaannya, apa yang bisa diambil oleh Indonesia dari kemajuan Tiongkok? Terlepas dari semua yang sudah diperoleh Tiongkok, satu hal pasti yang bisa diambil oleh Indonesia adalah proses. Tiongkok dan Indonesia merupakan negara yang merdeka di tahun 1940an. Kedua negara pernah dalam posissi ekonomi yang sama-sama terpuruk setelah merdeka. Keberhasilan Tiongkok mewujudkan pertumbuhan energi bersih yang pesat dan pembangunan hijau tidak dicapai dalam waktu singkat, namun sudah dipersiapkan dalam kurun waktu 20 tahun terakhir dengan perencanaan dan pelaksanaan yang konsisten dan terukur. Proses inilah yang perlu dipelajari oleh Indonesia, dengan tentu saja menyesuaikan peluang dan tantangan di tingkat lokal serta nasional.
Penguatan Hubungan antar Masyarkat
Meskipun di tingkat elit kedua negara hubungan sudah terjadi dengan baik, fondasi utama diplomasi kedua negara ada di tingkat masyarakat atau akar rumput. Merujuk pada hasil survey CELIOS (2024) terkait persepsi masyarakat Indonesia terhadap Tiongkok, 41% responden menyadari pentingnya peran Tiongkok dalam investasi dan pembangunan infrastruktur di Indonesia, terutama projek-projek terkait Belt and Road Initiative (BRI). Artinya meskipun sudah muncul persentase kepercayaan terhadap keberadaan Tiongkok, masih ada ruang untuk meningkatkan kepercayaan dan kerja sama satu sama lain. Salah satu caranya adalah penguatan interaksi people to people antara Indonesia dan China, khususnya untuk kelompok akademisi, wadah pemikir, dan masyarakat sipil lainnya.
Interaksi yang itens antar jaringan kelompok di tingkat akar rumput dapat mendorong kerjasama yang lebih kongkrit kedepannya. Kedua kelompok dapat bertukar gagasan dan saling berbagi praktik terbaik (lesson learned) dari masing-masing pengalaman yang terjadi di masing-masing negara, sehingga terjadi pembangunan kesepahaman antar entitas politik. Dalam hal ini, kpengetahuan mengenai China dalam membuat kebijakan iklim yang kuat, energi bersih, dan pembangunan hijau dapat dipelajari oleh Indonesia. Meskipun demikian, platform untuk melakukan dialog secara kontinu di tingkat akar rumput di sektor pembangunan hijau secara umum masih belum ada. Hadirnya platform tersebut diharapkan mampu memperkuat relasi antara masyarakat akar rumput di kedua negara. Oleh karena itu, fondasi kuat yang berakar pada hubungan masyarakat merupakan suatu hal yang perlu dibangun saat ini.