Jumat, 08 Agustus 2025 13:55

Tingkat tarif yang tertinggi selama seratus tahun ini, apakah AS lupa penderitaan depresi Besar?

Luar Negeri

Pada hari Kamis kemarin (07/08), "tarif timbal balik" edisi baru yang diumumkan pemerintah Amerika Serikat (AS) secara resmi berlaku. Tarif berkisar antara 10% hingga 41% diberlakukan di 69 negara dan wilayah di seluruh dunia. Menurut evaluasi terbaru, rata-rata tarif efektif AS telah mencapai 18,3%, yakni tingkat tertinggi dalam hampir satu abad. Menurut opini publik internasional, berlakunya “tarif timbal balik” tersebut berarti eskalasi lebih lanjut proteksionisme perdagangan pemerintah AS. Hal ini tidak hanya akan membayangi ekonomi global, tetapi juga akan membawa "dampak buruk" yang lebih mendalam kepada AS sendiri.

Pada bulan April lalu, pemerintah AS mengumumkan akan mengenakan tarif umum sebesar 10% kepada semua mitra dagang, dan meningkatkan tekanan kepada negara-negara dengan defisit perdagangan yang besar. Setelah berulang kali penundaan dan perundingan, akhirnya AS menetapkan tarif berlaku mulai 7 Agustus lalu. Namun, apakah AS benar-benar "mendapat keuntungan" dari hal ini? Banyak analis berpendapat bahwa dalam perang melawan intimidasi tarif AS ini, tindakan balasan yang tegas dari beberapa negara telah mempengaruhi ekspor banyak produk AS, dan mengakibatkan kerugian perusahaan-perusahaan AS, rantai industri dan pasokan juga terputus, sementara itu, rakyat AS malah menghadapi berbagai krisis seperti melonjaknya harga dan inflasi.

Yahoo Finance berpendapat bahwa dampak negatif kebijakan tarif AS tersebut semakin meningkat. Beberapa organisasi internasional juga menunjukkan, indikator terbaru telah memperlihatkan bahwa ekonomi AS berada “di ambang resesi”.

Mari kita melihat sektor manufaktur terlebih dahulu. Survei terbaru dari Institute for Supply Management (ISM) AS menunjukkan, Indeks Manajer Pembelian (PMI) Manufaktur AS turun menjadi 48% pada bulan Juli, dan hal ini menandai penurunan selama lima bulan berturut-turut. Situs web Wall Street Journal AS dalam sebuah artikelnya yang dipublikasi pada tanggal 6 Agustus lalu juga menunjukkan bahwa ketidakpastian kebijakan tarif AS terus memberikan tekanan akan sektor manufaktur domestik, maka hampir semua aktivitas ekonomi yang terkait dengan manufaktur telah mengalami kemerosotan pada tahun ini.

Kemudian kita melihat bidang penempatan tenaga kerja. Pemerintah AS berulang kali mengklaim akan memastikan "lapangan kerja penuh" dengan mengandalkan tarif, namun data terbaru yang dirilis oleh Departemen Tenaga Kerja AS menunjukkan bahwa tingkat pengangguran AS naik 0,1% dari bulan ke bulan menjadi 4,2% pada bulan Juli. Dan saat ini, penganggur AS rata-rata menganggur selama 24,1 minggu, periode ini adalah periode pengangguran rata-rata terpanjang selama tiga tahun ini. Sementara itu, angka ketenagakerjaan untuk bulan Mei dan Juni masing-masing direvisi secara signifikan turun menjadi 19.000 dan 14.000, bahkan media AS menyebut “mengejutkan” atas hal tersebut. Majalah Time AS meyakini upaya pemerintah AS yang menciptakan lapangan kerja manufaktur kepada pekerja AS melalui tarif hanyalah "angan-angan belaka".

Sementara itu, situasi inflasi AS juga tidak optimis. Data terbaru yang diumumkan oleh Biro Analisis Ekonomi (BEA) AS menunjukkan, salah satu indikator untuk mengukur inflasi AS, yakni indeks harga pengeluaran konsumsi pribadi (PCE) naik 2,6% pada bulan Juni, indeks ini lebih tinggi daripada bulan Mei yang sebesar 2,4%, juga melampaui target inflasi yang diinginkan sebesar 2%. Grup ritel terbesar AS, Wakil Presiden Eksekutif National Retail Federation (NRF) David French menyatakan bahwa kenaikan tarif tersebut akan dibayarkan oleh importir AS dan pada akhirnya akan dibebankan kepada konsumen, sehingga merugikan kepentingan perusahaan.

Penelitian terbaru dari Universitas Yale AS menunjukkan bahwa setelah berlakunya “tarif timbal balik”, harga AS akan naik sebesar 1,8% dalam jangka waktu pendek, setara dengan penurunan pendapatan dari setiap rumah tangga AS sebesar $2.400 tahun ini. Selain itu, hampir separuh perusahaan AS berencana melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) atau penutupan pabrik karena tekanan biaya. Jared Bernstein, mantan ketua Dewan Penasihat Ekonomi Gedung Putih juga memperingatkan bahwa perang dagang baru saja mulai memukul dompet masyarakat AS.

Sementara itu, kebijakan tarif tersebut juga mendampak besar terhadap perusahaan-perusahaan AS. CEO Apple Inc. Tim Cook memperingatkan bahwa Apple akan menderita kerugian sebesar $1,1 miliar pada kuartal ketiga akibat tarif. Kepala Ekonom AXA Gilles Moec baru-baru ini menyatakan, tarif akan menurunkan PDB AS sekitar 0,75% selama 12 bulan ke depan, dan penurunan tersebut berpotensi mencapai 1 poin persentase pada akhir tahun 2026.

Dunia masih ingat bahwa pada tahun 1930-an, AS mengenakan tarif terhadap lebih dari 20 ribu barang impor dari seluruh dunia, kemudian memicu balasan perdagangan dari negara-negara lain, dan hal ini mengakibatkan volume perdagangan global menyusut lebih dari 60% dalam 5 tahun selanjutnya. Perdagangan impor-eskpor AS sendiri juga mengalami kerugian besar, dan terjerumus dalam Depresi Besar. Hampir 100 tahun kemudian, “mimpi buruk” serupa mungkin akan terjadi lagi. Sebelum melakukan kesalahan yang sama, politikus-politikus AS seharusnya belajar dari sejarah.

favorite 0 likes

question_answer 0 Updates

visibility 321 Views

Update
No Update Available
Related News
Revitalisasi menyeluruh pedesaan: Jalan perubahan dari "sudah makan?" ke "kamu baik-baik saja di kampung halaman, ya?"
Restorasi mangrove Tiongkok-Indonesia jadi contoh global
Pikiran baru memandu perjalanan baru, pariwisata pedesaan berkembang makmur, memicu revitalisasi pedesaan yang komprehensif
×