Pada 29 April, ketika pemerintahan Amerika Serikat (AS) saat ini penuh 100 hari, yang menyambutnya bukanlah bunga dan tepuk tangan, melainkan kritikan dan kecaman yang berlimpah dari dalam dan luar negeri. Angka angket pol bahkan lebih suram—menurut sebuah jajak pendapat bersama yang baru-baru ini dilakukan oleh media AS, 55% responden menilai negatif kinerja pemerintahan sekarang, mencatat rekor terburuk dalam 80 tahun terakhir untuk periode yang sama.
Dari kembali ke Gedung Putih dengan momentum kemenangan besar dalam pemilu, hingga kini terjebak dalam kesulitan internal dan eksternal, mengapa pemerintahan AS saat ini mengalami "dua dunia yang bertolak belakang" hanya dalam 100 hari? Serangkaian kebijakan yang diambil setelah pemerintahan ini berkuasa, antara lain menerapkan rencana pemutusan hubungan kerja besar-besaran, penanganan keras terhadap imigran, pemotongan drastis anggaran penelitian ilmiah, dan menerapkan "tarif timbal balik" terhadap semua mitra dagang, semua ini telah menimbulkan kerugian nyata bagi rakyat dan ekonomi AS.
Pemerintah AS mengira bahwa dengan mengenakan tarif tinggi pada mitra dagang, AS dapat memulangkan industri manufaktur dan menciptakan lapangan kerja. Namun, salah menilai masalah ekonomi mereka sendiri dan mengambil kebijakan yang bertentangan dengan hukum ekonomi justru memicu kecemasan sosial dan kepanikan pasar, memperburuk kesulitan mereka sendiri.
Seperti yang ditunjukkan oleh media AS seperti ‘Business Insider’, AS tidak memiliki syarat yang memadai untuk memulangkan manufaktur, baik dari segi ekosistem ekonomi, rantai pasokan, maupun cadangan tenaga kerja. Mulai dari mobil hingga iPhone, semuanya bergantung pada ekosistem manufaktur global. Bagi AS, menaikkan tarif impor sama saja dengan "tindakan siksa diri." Ini membuat orang semakin sadar: yang disebut "America First" pada dasarnya adalah "America Risk," dan AS semakin menjauh dari dunia.
Menghadapi hegemoni, kompromi bukanlah solusi. Dalam 100 hari terakhir, banyak negara di dunia menentang keras intimidasi tarif AS. Pemerintah AS berusaha memeras lebih banyak kepentingan dari negara lain dengan tekanan maksimal, tetapi justru mendapat penolakan dan membuat dirinya semakin terisolasi.
Krisis keuangan, inflasi yang membubung tinggi, perlambatan ekonomi, protes rakyat... Bagi pemerintahan AS yang telah berkuasa 100 hari, alarm telah dibunyikan, jika bersikeras melancarkan perang dagang dengan dunia, mereka akan membuat perekonomiannya sendiri "kehabisan darah" dan rakyatnya menanggung lebih banyak penderitaan, dan ini pasti akan melemahkan fondasi kekuasaan mereka.
Dilihat dari tingkat yang lebih dalam, "kekacauan 100 hari" yang dialami AS juga memberikan aspirasi: "hukum rimba" tidak mendapat dukungan, hegemoni tidak bisa berbuat semau-maunya, arus globalisasi ekonomi tidak dapat dibendung, sementara keterbukaan, kerja sama, dan saling menguntungkan barulah jalan yang benar di dunia.