Pukul lima pagi, angin laut Jawa masih sejuk, namun Desa Rendah Karbon (Desa Tanjung Terantang) sudah diterangi oleh panel surya di atap rumah saat fajar. Insinyur Tiongkok, Pak Li, membungkuk dan menekan layar inverter dengan lembut—tulisan "100% renewable" berubah dari merah menjadi hijau. Desa pun resmi terbebas dari dengungan mesin diesel.
Nenek menekan tombol LED baru di dinding, kegelapan langsung sirna. Corak kain batik di kepala nenek seakan hidup dalam cahaya hangat. Amir, tujuh tahun, dan teman-temannya melompat gembira di dalam rumah. Nenek tersenyum lebar, keriputnya terlihat jelas, sambil membalik telur di wajan. Api biru di kompor berasal dari tangki biogas di belakang rumah—yang kemarin masih sampah dapur, hari ini jadi energi untuk sarapan.
Di ladang cabai, sprinkler tenaga surya berputar seperti kincir angin kecil, memercikkan air seperti kristal di atas daun. Ayah Amir memuat keranjang terakhir cabai ke dalam becak listrik. Stiker "BRI-Green" di belakang becak berkilau diterpa sinar matahari. Di pasar 60 km dari sini, dia hanya butuh 1 kWh listrik, tapi menghemat setengah emisi bensin yang biasanya terbuang.